BANDA ACEH, KABARACEHONLINE.COM: Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, SE., menegaskan bahwa penerapan Green Policing atau pemolisian hijau merupakan tonggak penting dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah praktik pertambangan liar yang masih marak di Aceh. Hal itu disampaikan pada Deklarasi Green Policing (Pemolisian Hijau) Mencegah Pertambangan Liar di Seluruh Provinsi Aceh yang digelar Polda Aceh bersama jajaran Forkopimda Aceh di Aula Mapolda Aceh, Kamis, 2/10.
Dalam sambutannya, Fadhlullah menekankan bahwa Aceh diberkahi sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hutan, air, hingga mineral. Namun, aktivitas tambang ilegal selama beberapa dekade terakhir telah menimbulkan dampak serius. “Tambang liar bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat sekitar, memicu konflik sosial, serta menggerus nilai-nilai kearifan lokal,” ujarnya.
Ia menyebut langkah Kapolda Aceh menggagas Green Policing adalah momentum penting, karena pendekatan ini tidak hanya berbasis penegakan hukum, tetapi juga gerakan moral, edukasi, dan kolaborasi lintas elemen. “Pemerintah Aceh mendukung penuh. Kita tidak menutup mata terhadap kebutuhan ekonomi masyarakat, namun segala aktivitas pertambangan harus legal, berizin, dan berkelanjutan. Deklarasi ini harus kita kawal dengan kerja nyata, koordinasi erat, dan komitmen konsisten,” ujar Fadhlullah.
Kapolda Aceh, Irjen Pol Marzuki Ali Bashyah, dalam sambutannya menegaskan bahwa tambang ilegal harus ditangani secara menyeluruh. “Persoalan ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum. Ada konflik antara masyarakat dan negara yang harus didekati dengan cara sosial, edukatif, dan kolaboratif. Polisi akan berdiri di tengah untuk mencari jalan tengah,” katanya.
Kapolda berharap, dengan niat tulus dan kerja kolaborasi ersama, bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. “Semoga komitmen bersama ini bisa menjadikan Aceh hijau dan masyarakat sejahtera serta keamanan terjaga. Kita jaga alam sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang,” kata Kapolda.
Sementara itu, Dirkrimsus Polda Aceh, Kombes Pol. Zulhir Destrian, memaparkan terbaik langkah-langkah yang sedang dan telah ditempuh Polda Aceh. Di mana Polda telah mengimbau seluruh SPBU agar tidak menyalahi aturan dalam penyaluran BBM yang kerap digunakan untuk mendukung aktivitas tambang ilegal. Polda juga berkoordinasi dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Pemerintah Aceh untuk mendorong pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi legal bagi masyarakat.
“Kami sudah memetakan daerah rawan PETI( pertambangan tanpa izin), bahkan menghadapi penghadangan masyarakat saat penindakan. Karena itu, solusi WPR ini sangat penting,” ujar Zulhir Destrian. Polda Aceh kata dia, memberikan dukungan penuh kepada – Pemerintah Aceh dalam hal ini gubernur untuk menyusun regulasi dan prosedur dalam pembentukan WPR
Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo, dalam sambutannya menekankan pentingnya gerakan Green Policing bagi keberlangsungan hidup generasi mendatang. “Alam kita adalah anugerah besar. Jika dibiarkan, tambang ilegal bisa berujung bencana: kerusakan hutan, longsor, bahkan korban jiwa. Dampaknya juga pada perekonomian dan potensi konflik sosial. Karena itu, tanggung jawab ini bukan hanya milik aparat, tapi semua pihak,” tegasnya.
Pangdam mengatakan Green Policing merupakan panggilan moral bagi pelaku pembangunan di Aceh. Karena itu, kata Pangdam, perlu sinergi bersama untuk menyukseskan gerakan tersebut. “Deklarasi ini menjadi komitmen nyata menyelamatkan potensi yang ada di Aceh.”
Deklarasi Green Policing yang ditandatangani bersama oleh unsur pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, ulama, dan masyarakat itu berisi lima poin komitmen, antara lain menolak segala bentuk pertambangan tanpa izin (PETI), mendukung pemerintah mensosialisasikan dampak negatif tambang liar, mendorong pembentukan WPR, berbagi informasi yang valid terkait PETI, serta melakukan penegakan hukum terpadu dan berkelanjutan.
Acara ini dihadiri unsur Forkopimda Aceh, Wakapolda dan jajaran Polda Aceh, Pangdam Iskandar Muda, Rektor Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry, serta sejumlah Kepala SKPA Pemerintah Aceh. []