KABARACEHONLINE, BANDAACEH: Menyikapi terdamparnya 94 warga negara asing (WNA) di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak otoritas setempat agar segera memberi perlindungan terhadap mereka, hal itu demi pertimbangan kemanusiaan.
Seperti diketahui, sedikitnya 94 WNA yang merupakan etnis Rohingya terdampar di perairan Seunuddon. Tiga ABK Aceh melihat sebuah kapal barang yang mereka tumpangi nyaris tenggelam di tengah laut. Sebagian penumpangnya bahkan masih anak-anak.
“Kita mengapresiasi tindakan nelayan Aceh yang dengan segera mengevakuasi WNA di kapal tersebut, dengan segala keterbatasan akses dan fasilitas, mereka tetap turun tangan menyelamatkan parapengungsi,” ujar Divisi Riset dan Pengembangan KontraS Aceh, Mardhatillah dalam keterangan resminya, Kamis (25/6/2020).
Namun, kabar terakhir, Pemerintah Aceh Utara menyatakan tidak dapat menerima para pengungsi tersebut. Kapal yang sempat mendarat itu sempat didorong kembali ke tengah laut setelah dilengkapi logistik. Pihaknya beralasan situasi pandemi Covid-19 membuat mereka perlu mewaspadai kedatangan etnis Rohingya itu. Meski belakangan, masyarakat di Aceh Utara melancarkan protes terhadap sikap tersebut.
“Padahal kalau alasannya Covid-19, pemerintah bisa menerapkan protokol kesehatan dan menyiapkan tempat karantina, dan bukankah di Langsa sudah ada tempat penampungan,” tambah dia.
Perlu Kembali Mengacu pada Aturan yang Berlaku
Merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, KontraS Aceh meyakinkan bahwa Indonesia telah komit memberikan perlindungan, baik ketika pengungsi ditemukan, memberi pengamanan, serta pengawasan bersama lembaga domestik dan internasional.
Aturan tersebut juga merupakan manifestasi dari Pasal 28 G UUD 1945, yang salah satu poinnya kurang lebih menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman, serta perlindungan dari ancaman ketakutan. Selain itu, Perpres 125/2016 juga wujud mandat dari Pasal 25-27 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. UU ini sendiri menjelaskan soal pemberian suaka dan masalah pengungsi.
“Perpres itu harusnya jadi rujukan utama untuk penanganan para pengungsi Rohingya ini, karena di dalamnya sudah ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana pemerintah dan otoritas setempat menyikapinya,” ucap Mardha.
KontraS Aceh meminta pemerintah jangan lagi menggunakan pendekatan keamanan dengan melarung pengungsi kembali kelaut lepas, karena bisa membahayakan keselamatan mereka.
“Juga hal itu justru bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap kemanusiaan dan HAM yang terkandung dalam perpres tersebut,” imbuhnya.
Ia menambahkan, tindakan mengembalikan pengungsi Rohingya ketengah laut sama saja dengan pembiaran dan menunjukkan pemerintah lepas tangan. Harusnya, tambah dia, pemerintah tidak perlu ragu lagi karena perpres tadi sudah mengatur secara rinci apa yang harus dilakukan.
“Selamatkan para pengungsi Rohingya dengan tetap memberlakukan protokol keselamatan Covid-19,” tandasnya.
Di tengah situasi saat ini, sambung dia, setiap masyarakat harusnya bersolidaritas. Apalagi, masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tempat asal mereka di Rakhine, Myanmar, belum juga tuntas. (RED)