KABARACEHONLINE, BANDA ACEH: Setelah tiga tahun meninggalkan kursi kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Aceh, kini Gubernur Aceh periode 2012-2017, Zaini Abdullah, meluncurkan buku berjudul Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir.
Buku yang ditulis wartawan senior Mohsa El Ramadan dan Mujahid Ar Razi ini di-launching di ruang Sigli, Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Senin, 31 Agustus 2020, dihadiri penulis Mohsa El Ramadan, tim pewawancara dan riset data, para narasumber, para wartawan dan beberapa kerabat Zaini Abdullah, dipandu oleh Akhiruddin Mahjuddin.
Tampak hadir Prof Sahrizal Abubakar (mantan Kadis Syariat Islam Aceh), Prof Abubakar Karim (mantan Kepala Bappeda Aceh/Kadis Pertanian Aceh), Edrian, (mantan Kabiro Humas dan Hukum Setda Aceh), Nasir Zalba (mantan Kesbangpol Aceh), Faturrahman, (tim ahli Abu Doto), dan Nurdin, (pakar hukum di bidang pemerintahan pada masa jabatan Abu Doto).
Hadir pula Abu Yahya Muaz, mantan petinggi GAM satu-satunya yang hadir. Ada juga ustaz Muzakir, mantan Adc Abu Doto, dan putri bungsu Abu Doto. Mantan Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, adik kandung Abu Doto, mantan Ketua DPR Aceh.
Dari kalangan wartawan, tampak Ketua PWI Aceh, Tarmilin Usman, Sekretaris PWI Aldin NL, Wakil Ketua Iranda Novandi, Bendahara, Azhari, pengurus PWI Pusat H Anwar, Kepala Biro LKBN Antara Aceh, Azhari, Ketua JMSI Aceh, Hendro Saky, dan para penulis
Abu Doto, sapaan akrab Zaini Abdullah, mengisahkan bagaimana hingga akhirnya ia harus menerbitkan buku biografi tentang perjalanan hidupnya. Salah satunya, kata Abu Doto, adalah karena permintaan sahabatnya Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI periode 2014-2019.
“Pak Zaini harus membuat buku,” kata Jusuf Kalla satu ketika. “Dengan bukulah pengalaman itu bisa ditransfer ke orang lain. Dengan buku, semuanya terekam. Keliru tafsir dan gagal paham tentang seseorang, sebuah Tindakan dan kejadian, bisa dihindari,” kata Jusuf Kalla, seperti dikutip Abu Doto.
Karena itu, kata Zaini Abdullah, di dalam buku Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir diperkaya dengan kata sambutan khusus dari Jusuf Kalla, wakil Presiden RI waktu itu..
Selain Jusuf Kalla, orang-orang yang bersinggungan menyumbang saran, kata Abu Doto, diantaranya beberapa jurnalis senior, para kerabat dan teman sejawat. “Biar buku tersebut bisa menjadi warisan bagi anak cucu kelak,” cerita Abu di depan para undangan.
Abu Doto menyebutkan cerita dalam buku tersebut tidak melulu berkaitan dengan dirinya. Namun, ada cerita tentang penderitaan rakyat Aceh ketika masa operasi militer diberlakukan selama bertahun-tahun. “Tentang operasi jaring merah dan DOM juga diceritakan dalam buku ini,” kata Abu Doto.
Alasan lain penerbitan buku ini, menurut Abu Doto, adalah sebagai espektasi atas perjuangan masyarakat Aceh yang sampai hari ini belum berakhir. Masih begitu banyak aspek yang harus diperjuangkan oleh rakyat Aceh, katanya.
“Meski faktanya secara de facto, Provinsi Aceh telah memiliki Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang lahir paska Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki,” tutur mantan Menteri Kesehatan dan Mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Abu juga salah satu tokoh GAM kunci yang paling diburu tantara setelah Hasan Tiro, Malik Mahmud, Ilyas Leube, dan beberapa orang lainnya.
Dalam launching yang berlangsung sederhana dan bersahaja itu, Abu Doto juga menukilkan kenyataan bahwa masih cukup banyak butir-butir MoU Helsinki termasuk juga dalam UUPA, belum terealisasikan oleh Pemerintah Pusat.
Mengapa kemudian buku tersebut berjudul Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir? Menurut Abu, hal itu untuk menggarisbawahi bahwa perjuangan Rakyat Aceh memang belum berakhir. “Masih terus berjuang menuntut agar butir-butir perjanjian damai dan butir-butir yang tertuang dalam UUPA bisa segera terealisasi,” harap Abu Doto.
Selain itu, kata Abu Doto, buku ini juga mengungkapkan bagaimana Rakyat Aceh tidak henti-henti berjuang. Sejak zaman penjajahan Belanda, hingga sesudah Indonesia merdeka. Rakyat Aceh masih berjuang menuntut janji yang pernah ditawarkan Jakarta.
Adapun hal menarik dalam ini, kata Abu lagi, juga mengungkapkan banyak fakta lapangan tentang ketidakadilan dan pembantaian rakyat tak bersalah. Termasuk merekam suasana konflik di masa Daerah Operasi Militer (DOM), di masa Darurat Militer, hingga ketika Abu Doto menjadi Gubernur Aceh.
“Buku ini saya dedikasikan untuk Rakyat Aceh, teristimewa Istri, anak, dan cucu. Buku ini juga sebagai penghormatan untuk syuhada, pecinta demokrasi dan calon pemimpin Aceh,” tutup Abu Doto.
Sosok Bersahaja dan Berpendirian Teguh
Sementara itu, Mohsa El Ramadan, penulis buku Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir, mendeskripsikan Abu Doto adalah sosok yang rendah hati dan berpendirian teguh. Inilah yang kemudian membuat penulis ingin membukukan kisah hidup dari seorang tokoh sekaliber Abu Doto. Agar pembaca mengenal lebih jauh petualangan Abu Doto dalam memperjuangkan keadilan di tanah indatunya.
Buku Abu Doto, Perjuangan Tanpa Akhir, ini, kata Ramadan, salah satu dari beberapa biografi tentang Zaini Abdullah. Buku ini dibagi dalam tiga bagian, terdiri dari 15 BAB. Bagian pertama bercerita tentang masa kecil Abu Doto yang mungkin tidak banyak, atau bahkan tidak terungkap dalam buku-buku lain.
Kemudian bagian kedua mengupas pertautan dan perjuangan Abu Doto bersama GAM; dan bagian ketiga memamparkan prestasi Abu Doto sebagai seorang birokrat.
Menurut Ramadan, buku ini memang kurang detail merekam jejak langkah Abu Doto sebagai anak Rapana, sebuah gampong dalam Kemukiman Tiba, Kecamatan Mutiara, Pidie. Atau sebagian khalayak menyebutnya Rapana Teureubue; gampong serupa akademi politik yang kerap menciptakan kader-kader militan.
Beberapa sudut pandang dalam buku ini, ungkap Ramadan, belum tergali secara mumpuni. Terutama di bagian pertama tentang masa kecil Abu Doto hingga menempuh pendidikan di Kutaraja. Bagian ini lebih berfungsi sebagai “snapshot” untuk melihat seperti apa masa kecil mantan Gubernur Aceh ini.
Sebenarnya, sebut Ramadan, banyak cerita menarik yang masih bisa diungkap dari kebersahajaan seorang Zaini Abdullah. Seiring ia tumbuh dan berkembang, begitu banyak peristiwa besar Aceh di masa lalu yang bergesekan langsung dengannya. Mulai dari pergolakan DI/TII Daud Beureueh, Prang Cumbok, hingga Aceh Merdeka.
Pada fase awal kehadiran Darul Islam di Aceh, Abu Doto masih belia. Dia tidak paham apa yang dilakukan Darul Islam kala itu.
Namun ia sedang tumbuh di tengah keluarga besar yang tidak hanya bersimpati tapi terlibat langsung dengan Darul Islam. “Ayah Abu Doto, Teungku Abdullah Hanafiah, yang akrab disapa Abu Teureubue, adalah salah seorang tokoh Darul Islam Aceh pimpinan Teungku Daud Beureueh,” kata Ramadan dalam prolognya.
Selepas DI, Abu Doto juga merasakan pahitnya konflik yang disebabkan Prang Cumbok. Belum reda itu semua, jiwa mudanya melihat Soekarno dengan cara berbeda saat founding father bangsa itu datang ke Kutaraja. “Walaupun dielu-elukan khalayak, Bung Karno kala itu juga punya cacat di mata seorang Abu Doto,” kupas Mohsa El Ramadan.
Tak dapat dipungkiri, peristiwa-peristiwa itu ikut andil dalam membentuk karakter seorang Abu Doto sebagai “aneuk geumaseh”: anak penurut dan terdidik dalam keluarga yang islami. Namun, di kemudian hari cerita hidup Abu Doto bergeser. “Zaini seperti bertukar-tukar peran. Dari seorang anak ulama menjadi dokter muda yang humble person, kemudian menjadi menteri di kabinet Aceh Merdeka, diplomat santun, hingga Gubernur Aceh.”
Dalam pandangan jurnalis senior Mohsa El Ramadan, tidak banyak orang punya pencapaian selayak ini semasa hidupnya. Namun, Zaini berbeda. Ia mampu berada di dua titik yang saling membelakangi. “Barang kali inilah salah satu alasan mengapa kami akhirnya bersimpati untuk menulis kisah hidup Abu Doto menjadi sebuah buku,” aku Ramadan.
Porsi terbesar buku ini adalah pencapaian Abu Doto saat menjabat Gubernur Aceh. Ada banyak hal positif yang ditorehkan Abu.
Ambil contoh, kata Ramadan, proyek revonasi Masjid Raya Baiturrahman yang awalnya dianggap prestisius tapi akhirnya dipuji banyak orang. Masjid Raya Baiturrahman tak hanya ikon Banda Aceh tapi ia juga rumah ibadah yang berlumuran sejarah dan mengundang decak kagum orang luar Aceh.
“Di tangan Abu, masjid ini diperindah, diberi payung layaknya Masjid Nabawi Madinah, dan mempunyai parkir bawah tanah, sebuah konsep parkir yang masih baru untuk ukuran kota Banda Aceh,” tegas Ramadan.
Untuk segi infrastruktur seperti itu, hal lain yang dilakukan Abu Doto adalah membuat jalan fly over di Simpang Surabaya, serta underpass di mulut Jembatan Beurawe dan Jembatan Darussalam. Sarana transportasi yang dibuat untuk menguraikan kemacetan ini juga tergolong baru pertama kali ada di Banda Aceh.
Sebuah visi yang mengubah wajah kota menjadi lebih modern. Padahal, beberapa tahun sebelumnya kota tersebut luluh lantak dihantam dua bencana ganda; gempa dan tsunami, kata Ramadan.
Dari segi ekonomi, Ramadan menambahkan, Abu Doto berhasil mengubah wajah Bank Aceh yang konvensional berjubah Syariah sejalan dengan penegakan syariat Islam. Mulanya gebrakan ini dianggap angin lalu. Banyak pihak menilai mustahil. Namun, Abu Doto membuktikan kalau ia bisa. “Dari sisi ini, Abu Doto boleh dibilang sosok tokoh Aceh yang berani ‘mengislamkan’ sistem perbankan di Aceh,” tegas Ramadan yang kemudian mendapat aplus para undangan yang hadir di ruangan itu.
Ketika awal-awal menjabat gubernur, pekerjaan rumah pertama Abu Doto adalah memperjuangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun. Abu Doto ingin agar semua pihak tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu. Jakarta harus memberi kesempatan lebih besar kepada Aceh dalam mengelola aset tersebut. “Abu Doto percaya penyerahan aset-aset itu kepada Pemerintah Aceh akan memberikan rasa keadilan yang pernah ‘dirampas’ dari rakyat Aceh,” kata Ramadan.
Di pengujung prolognya, Mohsa El Ramadan mengabarkan buku Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhiryang ditulis oleh dirinya dan Mujahid Ar Razi serta editor Maskur Abdullah, saat ini sudah memasuki proses lebeling harga di tangan distributor. “Insya Allah, pada September-Oktober 2020, buku ini sudah beredar di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia,” tutup CEO www.kba.one, ini. ***
KABAR BERITA » Membaca Jejak Aceh dalam Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir