Temui Komisi I DPRA, KontraS Minta Segerakan Reparasi Korban Konflik dan Penanganan Korban Kekerasan Seksual di Aceh

KontraS Aceh bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menggelar audiensi ke Komisi I DPR Aceh, Selasa (9/9/2020) di Ruang Badan Musyawarah DPRA.

KABARACEH, BANDA ACEH: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menggelar audiensi ke Komisi I DPR Aceh, Selasa (9/9/2020) di Ruang Badan Musyawarah DPRA.

Dalam audiensi tersebut, pihaknya membahas sejumlah isu, diantaranya mengenai reparasi korban konflik, rekonsiliasi akar rumput, Qanun Pertanahan serta penanganan kasus kekerasan seksual di Aceh.

Adapun dari Komisi I DPRA, hadir Ketua Komisi Tgk Muhammad Yunus M Yusuf, Wakil Ketua Taufik, serta anggota Nuraini Maida, Fuadri, Tgk Attarmizi Hamid, Ridwan Yunus, dan Darwati A Gani.

Dalam pertemuan ini, Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra menyampaikan kondisis terkini mengenai pemenuhan hak korban konflik. Kendati perdamai aceh telah berjalan selama 15 tahun, namun masih banyak persoalan yang belum selesai dan membutuhkan sinergi baik antara pemerintah dan elemen masyarakat sipil. Upaya yang perlu dilakukan yaitu pengakuan akan hak korban berupa hak atas kebenaran, keadilan, hak atas pemulihan dan hak atas ketidakberulangan.

Pada 2017-2019, KontraS Aceh telah melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran melalui pengambilan pernyataan korban pelanggaran HAM. Adapun model yang akan ditempuh adalah rekonsiliasi berbasis akar rumput, yang rencananya akan berjalan di Kabupaten Bener Meriah. Secara konsep, Hendra menjelaskan, merupakan model rekonsiliasi ini pernah berkembang di masyarakat berbasis kearifan lokal.

“Akan dilaksanakan di Kabupaten Bener Meriah, mengingat, pola konflik di daerah itu berbeda dengan yang terjadi di Aceh area pesisir. Menariknya, meski aktor, metode dan polanya berbeda, namun Bener Meriah mempunyai rekam jejak penerapan rekonsiliasi. Beberapa yang dapat ditelusuri, diantaranya Tugu Perdamaian DI/TII di Bur Gayo – Aceh Tengah dan Ikrar Pakat Musara Redelong pada tahun 2006 di Bener Meriah,” kata Hendra Saputra.

Ia juga menjelaskan, rekonsiliasi merupakan tahap yang sangat vital dalam perdamaian. Tanpanya, rasa sakit pada fisik dan psikis korban di masa konflik silam akan terwariskan ke anak cucu, sehingga akan memantik dendam di masa depan. Dendam ini dapat menjadikan korban masa lalu sebagai pelaku kekerasan di masa depan, bisa dalam lingkup rumah tangga, pelaku kriminal di masyarakat hingga mengancam keamanan.

Reparasi Mendesak

Seperti diketahui, pemerintah tengah berupaya memenuhi hak korban kekerasan masa lalu, salah satunya menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Aceh No 330/1269/2020 pada 2 Juli 2020 tentang penetapan penerimaan reparasi mendesak, dan pemulihan hak korban kepada korban pelanggaran HAM. SK Gubernur Aceh ini tersebut memuat reparasi mendesak bagi 245 korban pelanggaran HAM di Aceh.

“Tentu saja, hal baik ini perlu dikawal bersama termasuk memastikan ketersediaan anggaran untuk pelaksanan reparasi serta proses pengawasan supaya bisa terakomodir sesuai dengan sasaran yang diharapkan,” kata dia.

Lebih lanjut, Manajer Program KontraS Aceh, Faisal Hadi dalam kesempatan itu menambahkan, proses reparasi mendesak ini tidak bisa dilakukan dengan metode pengalokasian dan penganggaran sebagaimana mekanis penyusunan program rutin SKPA, akan tetapi harus ada formula khusus pengalokasian, minimal seperti pengalokasian terhadap anggaran tanggap bencana.

“Dimana anggaran untuk bencana bisa langsung digunakan pada saat terjadi bencana tersebut, maka besar harapan agar anggaran terhadap reparasi mendesak menggunakan skema yang sama, dimana pada saat KKR Aceh merekomendasikan reparasi, maka pada tahun tersebut langsung bisa digunakan terutama reparasi mendesak terkait upaya pemulihan trauma,” kata Faisal Hadi.

Segera Sahkan Qanun Pertanahan

Aulianda Wafisa dari LBH Banda Aceh dalam pertemuan ini membahas pentingnya pengesahan Qanun Pertanahan sebagai solusi terhadap berbagai kasus konflik tenurial yang terjadi di Aceh selama ini. Ia juga mengaku lega, karena setelah memperjuangkan qanun ini selama 12 tahun (sejak 2008), akhirnya dibahas tahun ini.

“Ini adalah kabar baik yang bisa kami sampaikan untuk klien kami, masyarakat korban konflik lahan dari berbagai wilayah di Aceh yang kami dampingi selama ini,” kata Aulianda.

Hingga kini, masih ada kasus perampasan lahan yang tersebar di lima kabupaten/kota di Aceh yang didampingi LBH Banda Aceh, antara lain Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Meulaboh, Nagan Raya, Aceh Barat Daya dan Singkil.

“Di daerah ini banyak didirikan perkebunan kelapa sawit yang bersinggungan dengan lahan masyarakat, ruang hidup mereka terancam, bahkan ada satu desa, yakni Sungai Iyu di Aceh Tamiang, yang seluruh kawasan desanya masuk dalam HGU perusahaan. Ini ironis, pembangunan desa terhambat, sementara desa tersebut diakui secara definitif oleh negara,” kata dia.

Kasus Kekerasan Seksual

Selain membahas soal rekonsiliasi pasca 15 tahun perdamaian Aceh, dalam pertemuannya dengan Komisi I DPRA, KontraS juga menyoroti tren kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh yang kian hari semakin memprihatinkan. Dari berbagai data yang dihimpun, ada sekitar 379 kasus selama tahun 2020, dengan rincian 200 kasus kekerasan terhadap anak dan 179 kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Pelecehan seksual terhadap anak jadi kasus dominan,” ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye KontraS Aceh, Azharul Husna.

Pihaknya mempersoalkan dualisme hukum dalam penanganan kasus ini. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus kekerasan yang dijerat dengan Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 mengenai Hukum Jinayat.

“Pelaku lebih banyak dihukum cambuk, alih-alih dipenjara. Bahkan kasus terbaru pada Agustus 2020 di Aceh Selatan ada perubahan putusan hukuman oleh hakim Mahkamah Syariyah Tapaktuan, dari 84 bulan penjara menjadi 90 kali cambuk kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak,” kata Husna.

Kebijakan semacam ini, dinilai KontraS sangat merugikan pihak korban. Selain hukum cambuk yang tak berefek jera dan berpeluang mengembalikan pelaku ke lingkungan yang dekat dengan korban, beberapa penerapan pasal dalam Qanun Jinayat juga problematis, lantaran dalam praktiknya tidak mengakomodir pemulihan mental korban yang trauma akibat kekerasan seksual yang menimpanya. “Yang mana dapat menyebabkan trauma berlapis dan mempengaruhi kehidupan anak di masa depan.”

Padahal, lanjut Husna, perlindungan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang lebih komprehensif telah ada di Undang-Undang 23/2002 tentang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang 3/1997 tentang Peradilan Anak. Kedua aturan itu sudah memiliki perspektif hak anak, dan sayangnya urung diterapkan oleh penegak hukum di Aceh.

Mengharapkan Dukungan DPRA

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai lembaga yang mewakili suara dan aspirasi seluruh masyarakat di tingkat provinsi. Sesuai dengan UU 11/2006, pasal 22 dan 23 bahwa DPRA mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Termasuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh serta kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh.

KontraS Aceh mengharapkan dukungan DPRA dalam beberapa poin, diantaranya:

Pertama, Sebagai lembaga yang lahir dari rahim politik, KontraS Aceh berharap mendapat dukungan moral dan politik dari DPRA Aceh, khususnya Komisi I dalam hal rencana pelaksanaan Rekonsiliasi akar rumput yang akan dilaksanakan di Bener Meriah.

Kedua, Sebagai tindak lanjut dari penetapan Surat Keputusan Gubernur Aceh No. 330/1269/2020 pada 2 Juli 2020 tentang penetapan penerima reparasi mendesak, pemulihan hak korban kepada korban pelanggaran dengan memastikan adanya alokasi anggaran terhadap pelaksanaan reparasi tersebut. dan;

Ketiga, Melakukan Legislative Review terhadap Qanun Aceh No. 6 tahun 2014. Khususnya pasal 47 terkait pelecehan seksual terhadap anak dan Pasal 50 mengenai pemerkosaan terhadap anak.

Tanggapan Komisi I

Merespon KontraS Aceh, Ketua Komisi I DPRA Tgk Muhammad Yunus M Yusuf mengatakan akan menindaklanjutinya. Perihal rekonsiliasi, Tgk Yunus mengatakan, masih banyak korban konflik yang haknya belum terpenuhi. Kini, anak-anak korban telah beranjak dewasa, dan jangan sampai terpapar dendam atas kasus yang menimpa keluarganya saat konflik silam.

“Jadi kami sangat sepakat rekonsiliasi ini dilakukan, kami sangat mendukung inisiatif tersebut dan siap berada di garda depan menyukseskan rekonsiliasi,” ujarnya.

Anggota Komisi I Ridwan Yunus menekankan harus ada pendataan yang valid soal jumlah korban pelanggaran HAM di Aceh.

“Jangan sampai hak itu menguntungkan pihak-pihak lain, sedangkan korban jadi terlantar karena tidak didata,” tutur dia.

Sementara itu, menyikapi tingginya kasus kekerasan seksual di Aceh, Yunus mengaku turut prihatin.

Menurutnya, ringannya putusan pidana terhadap pelaku pelecehan seksual sama sekali tidak sesuai dengan prinsip dari hukum Syariat Islam itu sendiri.

“Dalam Islam, pelaku kekerasan seksual itu sangat berat hukumannya. Kita mendukung penuh penerapan Syariat Islam di Aceh, dan menegaskan pelaku harus dihukum jera, karena telah merusak masa depan korban yang banyak diantaranya adalah anak-anak,” kata Ridwan.

Anggota Komisi I lainnya, Darwati A Gani berharap adanya tindak lanjut dari audiensi hari ini. Soal kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, menurut dia, pihaknya perlu bertemu dengan pegiat sipil dan akademisi untuk mencermati perkembangan kasus yang terjadi di Aceh, serta memikirkan jalan keluar atas penerapan pasal-pasal Qanun Jinayat yang terkait dengan penanganan kasus kekerasan seksual.

Di sesi akhir, Tgk M Yunus menyebutkan dirinya sepakat mendorong adanya pemulihan terhadap korban kekerasan seksual, serta hukuman yang berat untuk pelaku. “Kalau perlu, setelah dicambuk, pelaku juga harus dipenjara, ini penting untuk efek jera,” pungkasnya. (RD)

Related posts