Santri Yatim Piatu, Duafa, dan Anak Terlantar di Darul Amna Dambakan Asrama Baru

Picture of KABAR ACEH
KABAR ACEH
Santri Yayasan Darul Amna

“Secara manusia, saya memang tidak akan sanggup menafkahi mereka (anak-anak asuh). Tapi saya yakin Allah membantu saya.” Ungkap Teungku (Tgk) Rahmatullah (43 tahun). Sudah 17 tahun ia mengasuh anak yatim, duafa, dan anak terlantar di panti asuhan merangkap dayah bernama Yayasan Darul Amna Mutiara di Gampong Dayah Usi, Mutiara Timur, Pidie, Aceh, Kamis, 22 Oktober 2020.

Darul Amna didirikan oleh Tgk Zakaria, ayahnya Tgk Rahmatullah, pada 27 September 1996. Pencetusnya Tgk H M Daud Beureueh. Santri di sana berlatar belakang korban konflik Aceh, tsunami, yatim/piatu, duafa, dan anak-anak terlantar. Mereka mendapatkan tempat tinggal, makan, dan pendidikan gratis dari yayasan.

Fasilitas Darul Amna tidak sedikit dibangun dari sisa kayu dan seng berasal renovasi rumah warga serta sumbangan dari dermawan. Tak jarang ketika hujan asrama mengalami kebocoran dan ditembus hawa dingin menggigit. Apalagi lokasinya  berada di tengah area persawahan.

Tgk Rahmatullah yang diakrab sapa Waled mengatakan Santri perempuan tinggal di asrama kayu berukuran 15 x 6 meter bersama 60 santri perempuan lainnya. Di tempat berbeda, 40 santri laki-laki juga tinggal di asrama kayu berukuran 15 x 6 meter. Rencananya, santri laki-laki akan dipindahkan ke asrama baru bila tersedia dana membangunnya. Kemudian asrama lama laki-laki akan ditempati sebagian santri perempuan agar mereka tidak lagi tinggal berdesakan.

Ia berkeinginan membangun tambahan asrama baru untuk santri. Namun, untuk memenuhi biaya operasional yayasan ia sudah sangat kesulitan. “Mudah-mudahan kami bisa membangun asrama segera agar mereka bisa tidur lebih lelap dan aman,” harapnya.

Anak-anak di Darul Amna

Yana (5 tahun, nama samaran) nampak cukup santai duduk di samping  Waled, sosok lelaki yang sudah dianggap layaknya ayah kandungnya sejak berusia 3 tahun. Sorot mata Yana teduh,  sesekali ia tersenyum malu-malu.  Di usia 3 tahun, Yana bersama kakaknya,  Rahmi (8 tahun, nama samaran) dan abangnya, Arel (12 tahun, nama samaran), ia ditinggal pergi oleh orang tuanya yang kini berada di luar negeri.

Kemudian Yana tinggal bersama nenek dari keluarga ayahnya. Tak jarang ia mendapatkan perlakuan tidak baik dari neneknya.  Sementara ibunya dari Nusa Tenggara Timur tinggal di luar negeri.  Tidak ada satu orang pun tahu persis bagaimana ceritanya sehingga mereka bertiga akhirnya tiba diantar ke Darul Amna.

Yana hampir tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian  orang tua layaknya anak-anak lain seusianya. Harapan hidupnya tumbuh tatkala Waled memberikannya tempat nyaman berlindung dari siksaan.

“Banyak anak-anak di sini yang tidak kami tahu asal usulnya. Kami menerima mereka dengan ikhlas,” ujar Waled.

Di Darul Amna juga ada Diniati (8 tahun, nama samaran), berasal dari Matang Glumpang Dua, Bireuen. Kedua orang tuanya bercerai, sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Dulu Diniati tinggal bersama neneknya yang berusia sangat senja. Untuk memenuhi kebutuhan sendirinya saja ia sulit. Hal itu memaksanya menitipkan Diniati ke Yayasan Darul Amna.

Tak jarang beberapa anak asuh di sana menyendiri dengan mata berkaca-kaca. Oleh karena itu sesekali Waled membawa mereka jalan-jalan menuju pantai, sungai, dan tempat-tempat wisata murah menggunakan becak, dan mobil tua peninggalan almarhum ayahnya Ia ingin mengurangi kesedihan anak-anak asuh akibat jauh dari keluarganya.

Tgk Zakaria meninggalkan harta warisan berupa toko yang kemudian disewakan. Uang sewa toko sebagian digunakan demi memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal anak asuh, pendidikan agama, dan pendidikan sekolah.

Waled juga mengajak pengusaha di Kota Beureunuen memberikan zakatnya untuk anak-anak asuh di Darul Amna sebagai tambahan biaya makan dan operasional. Terkadang operasional yayasan turut dibantu masyarakat sekitar dengan memberikan sedekah dan padi usai memanen sawah. Namun, total perolehan sumbangan untuk biaya hidup, pendidikan serta pengobatan ratusan anak-anak asuh masih jauh dari kata cukup.

Menu makanan harian termewah yang bisa diberikan kepada anak asuh hanya berupa mie instan, telur dadar, dan nasi. Telur ayam sengaja dimasak dadar agar bisa dibagikan lebih banyak kepada para anak asuhnya. Mereka juga sering makan pakai minyak ditambah garam, dan telur dadar.

Juru masaknya pun dibayar sukarela setiap bulan, hanya Rp 300.000 jika ada. “Paling mewah mereka makan dengan ikan tongkol. Alhamdulillah,” lanjutnya.

Jarang sekali anak-anak bisa menyantap kelezatan daging. Hanya momen tertentu mereka bisa menikmatinya, yakni pada hari raya kurban dan saat memenuhi undangan kenduri, maulid, akikah, dan sebagainya.

Biasanya, pada  21 Ramadhan anak asuh dipulangkan agar bisa menikmati kebersamaan dengan keluarganya, kalau ada, bagi yang tidak punya keluarga, tetap tinggal di sana, sambil menunggu kawannya kembali. 

Waled akan mencari sumbangan kain sarung dan baju layak pakai dari berbagai instansi pemerintahan, swasta, dan pengusaha, serta masyarakat. Meskipun hanya kain sarung tua dan baju bekas, kemudian dibagikan kepada mereka para anak asuh sebagai buah tangan momen Hari Raya Idul Fitri.

Amanah mengasuh anak-anak

Amanah mengasuh untuk anak-anak tersebut diterima Waled saat masih kuliah S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, ia rela meninggalkan pendidikannya demi menjalankan amanah ayahnya, Tgk Zakaria.

Pagi hari Rabu, 22 September 2003 sebelum Tgk Zakaria mengembuskan nafas terakhirnya, ia berpesan kepada Waled untuk meneruskan pekerjaannya. Pada saat itu Tgk Zakaria sedang memasak air bersama anak asuhnya. Tepat pukul 22:30 WIB, tiba-tiba datang orang tak dikenal (OTK) membawa senjata. Suasana menjadi gaduh.

Tak dapat dielakkan, OTK tersebut langsung menembak timah panah, dari jarak satu  setengah meter mengenai tubuh Tgk Zakaria  sebanyak 6 kali,  dan satu orang anak asuh juga terkenak peluru nyasar. Seketika itu pula Tgk Zakaria tergeletak bersimbah darah meninggal dunia. Darul Amna pun larut dalam duka dan merasa  kehilangan orang tua asuh yang selalu menyayangi mereka.

Waled sudah memiliki dua buah hati dari pernikahannya dengan Safrita (32 tahun). Namanya Fitrah Hafizh (13 tahun) dan Fitri Hafizah (10 tahun). Dengan segala kepeduliannya, dan juga sebagian bantuan pemerintah, masih saja ada orang yang benci, tidak  menyenangi, dan tidak suka dengan Waled. Ia pernah difitnah menjual sabu, dan beli buntut karena diyakini sebenarnya tidak mampu menafkahi ratusan anak asuh dengan penghasilannya tidak menentu.

“Secara manusia, saya memang tidak akan sanggup menafkahi mereka Tapi saya yakin Allah akan membantu saya. Yang penting niat kita tulus untuk mengasuh anak-anak,” sambungnya.

Meskipun demikian, kadang-kadang kesedihannya mendalam tatkala pihak keluarga atau wali menjemput anak-anaknya setelah dewasa. Saat mereka masih berusia anak-anak, pihak keluarga dan walinya, tidak pernah peduli. Tetapi setelah mereka dewasa tiba-tiba mereka datang ingin menjemput nya kembali. “Hati siapa yang tidak sedih,” imbuhnya.

Staf Program Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh Akhi Munandar, mengatakan ACT Aceh sedang melakukan penggalangan pembangunan asrama baru untuk Yayasan Darul Amna.

Bagi yang ingin berpartisipasi mendirikan asrama santri di sana dapat menyalurkan kedermawanannya melalui rekening Bank Aceh 01001930009312 BNI Syariah 1010000137 atas nama Yayasan Global Wakaf. Konfirmasi donasi dapat melalui pesan langsung ke instagram @act_aceh atau WhatsApp 082283269008.

“Mari kita bantu membangun asrama untuk anak-anak asuh di sana, dan jangan hardik anak yatim, dan mari kita  beri makan orang miskin, serta kita beri tempat yang layak bagi mereka,  Insya Allah, pahala sedekah kita senantiasa mengalir kepada kita juga.

Ia menambahkan, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi Muhammad saw bersabda, ”Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau saw mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan keduanya. (Rel)

KABAR LAINNYA
KABAR TERKINI