Pendidikan karakter bertujuan membentuk kepribadian anak agar mereka menjadi individu yang berkualitas, memiliki moral dan etika yang baik, serta siap menghadapi tantangan di masa depan.
Era digital yang semakin maju membuat tantangan dalam membangun dan membentuk karakter anak semakin sulit. Terdapat beberapa tantangan dalam membentuk karakter anak di era digital ini seperti adanya informasi yang tidak terkontrol, kemudahan dalam mengakses informasi, dan pengaruh dari lingkunga digital yang sangat kuat.
Adanya informasi yang tidak terkontrol menjadi tantangan utama dalam membentuk karakter anak, sehingga anak-anak dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak sesuai dengan usia dan tingkat kematangan mereka. Hal tersebut dapat menimbulkan resiko munculnya konten yang tidak layak untuk anak – anak.
Pendidikan karakter merupakan aspek krusial dalam membentuk masa depan generasi muda, terutama dalam era digital yang semakin maju. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib.
Individu juga memiliki kesadaranuntuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindaksesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilainilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.
Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian individu. Pada tingkat pendidikan dasar, pembentukan karakter siswa menjadi salah satu fokus utama dalam upaya generasi muda yang berkualitas (Wina, S. 2006).
Salah satu upaya yang dilakukan dalam konteks ini adalah dengan mengimplementasikan kurikulum merdeka. Kurikulum merdeka adalah konsep pendidikan yang dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan kebebasan kepada setiap lembaga untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di wilayah mereka masing-masing (Tholkhah, I. 2004). Pendekatan ini bertujuan untuk mengakomodasi keberagaman dan memperkuat pendidikan karakter di sekolah-sekolah dasar, karena ilmu setinggi apapun yang kita miliki akan percuma saja jika karakternya bermasalah.
Contoh, berbagai masalah yang disebabkan oleh skor kepribadian yang rendah membuat siswa menjadi kurang pemalu dan kurang menghormati gurunya. Siswa menjadi pribadi yang tempramen, egois dan mudah marah. Ada banyak kenakalan, terutama siswa sekolah dasar, seperti suka berkelahi dengan teman, mencuri barang yang bukan miliknya tanpa ragu-ragu, dan tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Pendidikan yang ada di Indonesia tercantum pada UU No.20 tahun 2003. Untuk mencapai tujuan pendidikan, dibutuhkan kurikulum agar mempermudah proses pendidikan. Konsep merdeka belajar bertujuan untuk memerdekakan pendidikan dengan cara berpikir dan bebas berinovasi.
Dengan adanya perubahan sistem pembelajaran, sekolah harus mempersiapkan strategi dan metode pembelajaran sebaik mungkin. Beberapa upaya yang harus guru berikan kepada peserta didik yaitu dengan memberikan rangsangan (stimulus) agar peserta didik dapat berperan aktif dalam pembelajaran dengan sajian materi yang inovatif, memberikan contoh dan teladan kepada peserta didik serta melakukan pembiasaan pembentukan karakter siswa dalam kurikulum merdeka setiap hari.
Melalui pendekatan ini, sekolah memiliki kebebasan dalam menentukan konten kurikulum yang relevan dengan budaya, lingkungan, dan potensi siswa di daerahnya (Fitiyana, A. M. 2014). Dengan demikian, sekolah dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan siswa, serta dapat membentuk karakter siswa secara lebih efektif.
Dalam proses Implementasi Kurikulum Merdeka perlu dilakukan berbagai langkah strategis. Pertama, identifikasi nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan pada siswa. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggungjawab, disiplin, kerjasama dan kepedulian sosial menjadi landasan penting dalam pembentukan karakter yang baik. Kemudian, sekolah perlu mengembangkan program-program pendidikan yang mendukung pengembangan karakter siswa, seperti kegiatan ekstrakurikuler, pelatihan kepemimpinan, serta pengenalan budaya lokal (Hamzah, A. 1996).
Dalam konteks Kurikulum Merdeka peran guru juga sangat penting. Guru diharapkan mampu mengimplementasikan kurikulum yang relevan dengan baik, serta menjadi fasilitator dalam pembentukan karakter siswa. Guru perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang karakteristik individu siswa dan mampu merancang strategi pembelajaran yang dapat membantu mereka mengembangkan nilai-nilai karakter. Pada kurikulum merdeka tugas guru lebih banyak pada aksinya, mengarahkan peserta didik untuk lebih kreatif dalam membuat karya atau lebih inovatif dalam pembelajarannya.
Pembelajaran pada kurikulum merdeka tidak hanya menonton dengan penjelasan guru kemudian diberikan tugas, tetapi menjadi lebih inovatif sebagaimana yang telah tercantum dalam kurikulum merdeka yaitu P5 (potensi diri, pemberdayaan diri, peningkatan diri, pemahaman diri dan peran sosial) sebagai tunjuk aksinya.
Sebagai guru kita harus fokus dalam pembentukan karakter siswa dalam pembelajaran sehari-hari, jangan sampai kita disibukkan dengan mempersiapkan bahan ajar yang menarik, inovatif supaya kita dianggap sebagai guru yang kreatif dalam mengajar di kelas serta demi meningkatkan profesionalitas diri kita sendiri sehingga kita lupa tujuan utama dari semuanya itu adalah pembentukan karakter siswa.
Beberapa hal yang bisa diterapkan di sekolah dalam penerapan pendidikan karakter terhadap siswa, yaitu 1. Membiasakan seluruh siswa untuk melakukan hal-hal positif seperti membuang sampah pada tempatnya. 2. Memberi contoh yang baik, yaitu seorang guru harus bersikap baik, sopan, tegas, disiplin dan ramah terhadap orang lain maka siswa akan meniru perilaku tersebut. 3. Memberikan pesan moral setiap proses pembelajaran yaitu dalam mengajar matematika biasanya menyampaikan pentingnya disiplin waktu dalam segala hal. 4. Memberikan apresiasi dan penghargaan yaitu jika ada siswa yang menunjukkan kemajuan dalam belajar walaupun kemajuan kecil maka guru memberikan selamat dan terima kasih kepada siswa tersebut. 5. Bersikap jujur dan terbuka yaitu jika guru ada melakukan kesalahan maka Jangan sungkan untuk mengakuinya dan meminta maaf kepada siswa. 6. Mengajarkan sopan santun yaitu jika ada siswa yang melakukan kesalahan maka tegurlah dengan lemah lembut dan tidak menghakiminya serta hindari menegur siswa dengan kata-kata kasar apalagi sampai memukulnya. 7. Memberikan inspirasi yaitu sesekali dalam proses pembelajaran selipkan kisah-kisah tokoh yang menginspirasi dalam kehidupan sehari-hari cara berperilaku yang baik dan benar seperti kisah Nabi Muhammad SAW dan tokoh-tokoh lainnya.
Demikian beberapa hal yang dapat membangun karakter siswa yang bisa diterapkan di sekolah. Membangun karakter siswa tentu bukan hal yang mudah, tetapi dengan usaha dan kerja keras guru, karakter siswa yang diimpikan pasti akan terwujud.
*Penulis adalah Guru Matematika SMP Plus Athiyah, Lembah Seulawah, Aceh Besar.