BANDA ACEH, KABARACEHONLINE.COM: Aceh akan memasuki periode yang semakin menantang dalam beberapa tahun mendatang, dengan berkurangnya secara signifikan transfer dari Pemerintah Pusat dari tahun 2027.
Kondisi fiskal daerah diperkirakan akan menjadi lebih sempit, sementara tuntutan pembangunan semakin besar.
Dalam kondisi ini, Pemerintah Aceh dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mendanai berbagai program yang akan digulirkan oleh Gubernur-Wakil Gubernur terpilih untuk periode 2025-2030.
Selain memperluas ruang fiskal dengan pola-pola creative financing seperti penerbitan Sukuk Daerah atau pendanaan dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), pemerintah perlu memastikan dunia usaha bisa terus berkembang di Aceh.
Minimnya peran investasi swasta dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh harus diperbaiki. Ekonomi Aceh tidak bisa selamanya bergantung kepada belanja Pemerintah (melalui APBD) dan konsumsi masyarakat. Karena Pemerintah mempunyai banyak keterbatasan, sementara daya beli konsumen juga masih tertekan.
Untuk mendiskusikan beberapa isu terkait tantangan yang akan dihadapi serta peluang yang harus direbut oleh perekonomian Aceh, BSI bekerjasama dengan media televisi dan radio local (TVRI dan RRI) mengadakan Talk Show spesial tentang ekonomi Aceh.
Diskusi yang menghadirkan beberapa pakar ekonomi daerah dan nasional ini mengupas secara lugas beberapa isu kunci ekonomi yang akan dihadapi oleh Aceh lima tahun ke depan.
Dr Rustam Efendi, pengamat ekonomi senior Aceh menyebutkan “Aceh mempunyai pondasi ekonomi yang kuat, khususnya sektor primer seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan sebagai sektor unggulan, dimana kontribusi sektor ini bahkan lebih baik dari provinsi lain di Sumatera”
Namun, dengan semakin berkurangnya dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk belanja modal pemerintah lewat APBD, APBA dan APBK, mau tidak mau Pemerintah Aceh perlu memperluas sumber dana pembangunan daerah. Aceh perlu mengundang investasi swasta yang masuk.
Dr. Rustam juga menegaskan pentingnya peran perbankan untuk pembiayaan dalam dunia usaha.
Sementara Prof. Taufiq C. Dawood, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, menyatakan isu utama Aceh adalah keterbatasan fiskal yang perlu segera dicari jalan keluarnya.
Pemerintah Aceh perlu membuat strategi yang tepat untuk meningkatkan penerimaan daerah, serta memastikan efisiensi pengeluaran ditengah angka kemiskinan di Aceh yang masih double digit (12 persen). Langkah-langkah ini dibutuhkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi terutama setelah berakhirnya even besar nasional seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun lalu.
Meskipun banyaknya tantangan yang dihadapi, Aceh tetap mempunyai peluang yang besar untuk bisa tumbuh 5% atau lebih. Hal ini disampaikan oleh Dr Banjaran Surya Indrastomo, Chief Economist BSI.
Dr. Banjaran menyebutkan bahwa proyeksi yang dilakukan tim BSI, pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2025 akan lebih tinggi dibandingkan beberapa Provinsi di Sumatera, termasuk Sumatera Selatan dan Sumatera Utara, namun secara nasional sedikit dibawah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa dijadikan momentum baik secara nasional maupun global, pertama outlook harga energi yang positif terutama dari sektor migas, kedua konsumsi rumah tangga lebih baik dibanding tahun lalu, pungkasnya.
Ada beberapa hal ditahun ini lebih baik, seperti BI Rate turun diminggu lalu yang memberikan angin segar untuk mendorong perekonomian.
Di sisi lain, Banjaran juga mengutarakan dalam pesta demokrasi pemilu serentak yang lalu berlangsung dengan aman sehingga stabilitity sangat penting untuk perekonomian. Ia juga memprediksi dunia usaha akan bergerak sejalan dengan program prioritas pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis yang fungsinya untuk meningkatkan produktivitas yang fokus untuk sektor pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang memberikan nilai tambah.
Ketiga Ekonom, dalam forum diskusi hangat tersebut, sepakat bahwa solusi untuk meningkatkan geliat ekonomi Aceh adalah hilirisasi berbagai komoditas primer yang ada di Aceh. Proses industrialisasi ini akan meningkatkan nilai tambah, mendatangkan investasi, serta membuka kesempatan kerja baru. “Intinya merubah struktur perekonomian dari pertanian (agro based) menjadi berbasis industri”, demikian pandangan Dr Banjaran.
Namun sambil menunggu proses perubahan struktural yang membutukan waktu yang cukup lama, perlu ada ‘bumper strategy’ atau strategi antara. Strategi ini berupa penataan sektor pariwisata yang sangat potensial. Menurut Dr Rustam, sektor pariwisata di Aceh hanya perlu dipoles dan ditata oleh Pemerintah, supaya nyaman dan menarik bagi turis domestik dan mancanegara.
Pada akhirnya, forum dialog ini menyimpulkan bahwa, meski mungkin kondisi fiskal Aceh akan semakin sempit mulai tahun 2025 ini, namun dengan kerja keras dan kerja cerdas, Aceh akan bisa melewati proses transisi dari ketergantungan fiskal menjadi ekonomi yang lebih kuat dan mandiri. []