Aceh Sharia Economic & Investment Outlook 2026; Menjaga Momentum, Memperkuat Nilai, dan Membangun Sumber Pertumbuhan Baru

BANDA ACEH, KABARACEHONLINE.COM: Prospek ekonomi Aceh pada 2026 diperkirakan tetap berada dalam tren positif meski dibayangi berbagai tantangan struktural. Upaya diversifikasi ekonomi, penguatan sektor potensial, serta revitalisasi peran keuangan sosial Islam seperti wakaf dinilai menjadi kunci untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi Aceh di masa mendatang.

Isu ini mengemuka dalam acara Aceh Sharia Economic & Investment Outlook 2026 yang diselenggarakan oleh BSI Regional Office Aceh dan BSI Institute di Banda Aceh pada tanggal 27 November 2025 yang mengusung tema “Transformasi Ekonomi Aceh Menjaga Momentum, Memperkuat Nilai, dan Membangun Sumber Pertumbuhan Baru.”

Regional CEO BSI Aceh, Imsak Ramadhan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Aceh memiliki posisi istimewa sebagai provinsi yang menerapkan prinsip-prinsip syariah yang kaya potensi. Ia menegaskan perlunya memperkuat peran lembaga keuangan syariah dan filantropi Islam sebagai penggerak pertumbuhan baru.

“Aceh memiliki potensi besar untuk menjadikan wakaf dan instrumen keuangan sosial Islam sebagai kekuatan ekonomi yang tidak hanya menumbuhkan ekonomi, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan pemerataan kesejahteraan,” ujar Imsak.

Lebih lanjut, Imsak menegaskan BSI akan selalu hadir sebagai bank syariah kebanggan umat, yang diharapkan selalu menjadi energi baru pembangunan ekonomi serta berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh, menjadi bank yang modern, universal dan memberikan kebaikan bagi segenap alam.

Syariah Islam dan Transformasi Ekonomi Aceh
Direktur Eksekutif Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Provinsi Aceh, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, dalam keynote speech-nya menyampaikan bahwa dalam proses pembangunan ekonomi Aceh, aspek syariat Islam hadir untuk mengakselerasi pertumbuhan tersebut, yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.

Syahrizal mengingatkan bahwa berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 155, disebutkan bahwa orientasi perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan UU tersebut, KDEKS juga telah menyusun program strategis pengembangan ekonomi syariah agar selaras dengan Asta Cita, yaitu melalui penguatan kebijakan dan kelembagaan terkait ekonomi syariah, penguatan sektor keuangan syariah untuk sumber pendanaan, penguatan sektor riil syariah melalui pengembangan UMKM halal dan ekspor produk halal, mendukung pembangunan infrastruktur, pengembangan wisata halal atau wisata ramah-Muslim, penguatan ekosistem ekonomi digital syariah, serta transformasi ZISWAF.

Ekonomi Aceh: Tantangan Struktural dan Peluang Pertumbuhan Baru

Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo, memaparkan kondisi ekonomi Aceh terkini dan outlook 2026. Berdasarkan analisis BSI, ekonomi Aceh diperkirakan akan tumbuh 4,59% pada 2025, sedikit melambat dibanding 2024. Struktur ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada sektor primer, khususnya pertanian, yang menyumbang 32,06% PDRB dan menjadi sumber pertumbuhan terbesar.

Dalam pemaparannya, Banjaran menegaskan bahwa ekonomi Aceh tidak dapat berkembang jika hanya bergerak di wilayahnya sendiri. Ia menekankan perlunya Aceh terhubung dengan ekonomi wilayah lain, khususnya dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lainnya di Pulau Sumatra, seperti Medan, Batam, dan Pekanbaru.

Dengan menangkap arus ekonomi dari kawasan-kawasan tersebut, potensi peningkatan kue ekonomi bagi lima juta penduduk Aceh akan jauh lebih besar. Meski demikian, Banjaran mengingatkan bahwa peningkatan aktivitas ekonomi harus diikuti dengan pengendalian inflasi serta pembenahan sistem logistic. Jika fondasi-fondasi ini diperkuat, Aceh berpeluang menjadi salah satu poros ekonomi syariah tedepan di wilayah barat Indonesia.

Banjaran juga menyoroti kinerja konsumsi masyarakat Aceh. Berdasarkan BSI Muslim Consumption Index, sektor beauty & cosmetics muncul sebagai kategori dengan pertumbuhan paling kuat di Aceh, mencerminkan peningkatan preferensi konsumsi rumah tangga dan peluang pasar yang terus tumbuh di sektor ini. Sementara itu, sektor makanan-minuman dan jasa akomodasi juga menjadi penyokong penting pengeluaran masyarakat.

“Aceh membutuhkan sentra pertumbuhan baru di luar sektor primer. Pengembangan pariwisata, industri hilir, dan ekonomi kreatif dapat menjadi katalis pertumbuhan berikutnya. BSI Muslim Consumption Index menunjukkan bahwa sektor kecantikan dan kosmetik menjadi salah satu yang paling potensial di Aceh,” jelas Banjaran.

Lebih lanjut, Banjaran juga menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh harus mulai mempersiapkan pengembangan sektor perikanan dan kelautan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru di Aceh.

Diaspora: Kekuatan Kolektif untuk Mendorong Akselerasi Pembangunan
Ketua Umum Taman Iskandar Muda (TIM),

Muslim Armas, menekankan peran strategis diaspora Aceh di seluruh dunia dalam diplomasi ekonomi, transfer pengetahuan, dan mobilisasi sumber daya.
Dalam pemaparannya, ia memetakan kontribusi diaspora ke dalam tiga pilar: solidaritas sosial sebagai program jangka pendek, pemberdayaan ekonomi sebagai program jangka menengah, dan peningkatan akses pendidikan sebagai program jangka panjang.

Melalui pemaparan potensi Aceh, termasuk kekayaan alam, perikanan, pertanian, dan peluang hilirisasi, Muslim menyampaikan bahwa diaspora siap menjadi jembatan antara Aceh, pemerintah pusat, dan mitra global.

“Diaspora Aceh memiliki komitmen kuat untuk berkontribusi, khususnya melalui Gerakan berwakaf dan penguatan ekonomi masyarakat. Hilirisasi komoditas Aceh juga sangat mungkin dilakukan dengan kolaborasi diaspora dan pelaku usaha lokal,” ujarnya.

Muslim juga menyoroti perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengembangan UMKM. Ia menilai bahwa pelatihan saja tidak cukup tanpa pendampingan berkelanjutan, terutama dalam aspek manajemen bisnis dan pemasaran.

Muslim menambahkan, bahwa diaspora Aceh siap membantu membuka akses pasar lebih luas bagi produk-produk lokal ke berbagai kota pusat ekonomi nasional. Dengan langkah ini, pelaku UMKM diharapkan dapat merasakan peningkatan nilai ekonomi yang lebih merata dan mebawa dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat Aceh.

Wakaf Sebagai Modal Strategis Pembangunan Aceh
Dari perspektif internasional, CEO Ihsan International Waqf Labuan Foundation Malaysia, Aminnurllah Mustapah, menekankan bahwa wakaf bukan sekadar kegiatan amal, melainkan instrumen investasi sosial lintas generasi.
Dalam paparannya, ia menguraikan berbagai model wakaf produktif di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Inggris, termasuk praktik pengelolaan aset wakaf yang terkorporatisasi, seperti corporate waqf, listed waqf funds, hingga pemanfaatan wakaf untuk solusi perumahan terjangkau.

Wakaf harus dipandang sebagai modal strategis yang dikelola secara profesional. Dengan tata kelola yang tepat, wakaf dapat menjadi pilar pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan bahkan perumahan,” ujarnya.

Lebih jauh Aminnurllah mendorong Aceh untuk memperkuat ekosistem kebijakan, legal, dan keuangan agar wakaf dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Penguatan Wakaf Aceh Memerlukan Pembenahan Serius
Penggiat wakaf dan Anggota Baitul Mal Aceh, Fahmi M. Nasir, menegaskan bahwa Aceh memiliki tradisi wakaf yang kuat dan potensi besar untuk menjadikannya sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Namun, ia menekankan masih banyak pekerjaan rumah mendasar yang harus diselesaikan.

“Data wakaf Aceh saat ini belum sesuai dengan kondisi lapangan. Diperlukan validasi ulang aset-aset wakaf di seluruh Aceh agar pemanfaatannya benar-benar optimal,” tegas Fahmi.

Ia juga menyoroti perlunya penyusunan Qanun Wakaf yang lebih komprehensif serta mendorong Gerakan Aceh Berwakaf (GAB), termasuk ajakan kepada diaspora Aceh untuk berkontribusi melalui wakaf produktif.

Titik Tumbuh Baru Ekonomi Aceh

Menutup sesi panel, Luqyan Tamanni, Head of BSI Institute, menyampaikan analisis sektoral dan potensi sektor baru yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Aceh ke depan. Berdasarkan analisis BSI, Luqyan menyoroti sektor-sektor unggulan dan potensial seperti pariwisata dan akomodasi, tanaman hortikultura, peternakan, jasa pertanian dan perburuan, perikanan, pertambangan minyak, gas, dan panas bumi, real estate (perumahan), industri tanaman pangan, perikanan, serta komoditas unggulan seperti kopi.

“Aceh perlu melahirkan strategi pertumbuhan baru yang berfokus pada sektor benilai tambah tinggi. Transformasi ekonomi Aceh harus didukung oleh inovasi pembiayaan syariah, termasuk integrasi keuangan sosial seperti wakaf untuk memperkuat pembangunan daerah,’ ujar Luqyan.

Forum Aceh Sharia Economic & Investment Outlook 2026 yang dipandu oleh Ida Almaddany ini memberikan gambaran bahwa transformasi ekonomi Aceh harus dilakukan melalui diversifikasi ekonomi, penguatan kolaborasi pemerintah-diaspora-lembaga keuangan, pengembangan sektor bernilai tambah tinggi, serta revitalisasi wakaf sebagai instrumen pembangunan sosial-ekonomi.

Dengan sinergi berbagai pemangku kepentingan, Aceh diharapkan mampu memperkuat daya saing daerah dan membangun pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. []

KABAR LAINNYA
KABAR TERKINI
KABAR FOKUS